Rabu, 04 April 2018

Cerpen



KENANGAN BERSAMANYA

            Malam cepat berganti, tak terasa ramadhan kembali datang menyapa insan dunia. Semua bersuka cita dan riang gembira, tak terkecuali aku. Ku pandangi atap-atap langit yang ditemani cahaya kecil pancaran sang bulan.
            Insan kesana kemari menuju rumah Tuhan untuk menjalankan tugas mulia, berharap mendapat imbalan dari sang Tuhan. Akupun juga menuju rumah Tuhan walau mungkin hanya ikut-ikutan saja. Ditengah perjalanan, ku lirik kiri kananku sambil mulutku mengucap Subhanallah, bahagia sekali rasanya melihat insan dunia berbondong-bondong menuju rumah Tuhan, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa hingga rumah Tuhan pun tak cukup untuk menampung banyaknya insan.
            Adzan mulai menggema, menandakan akan dimulainya ibadah menuju Tuhan. Semuanya berbaris dengan tertib sampai selesai. Akupun menuju jalan pulang bersama ayah tercinta.
Sejenak aku merenung, mengingat semua masa yang ku lalui, ketika dulu aku masih bersamanya. Dia selalu disampingku, menjagaku, melindungiku dan menemaniku dalam suka maupun duka. Bersamanya aku merasa tenang dan damai, karena dengan hanya melihat senyumnya membuat aku berarti.
Hari-hari selalu aku lalui dengannya menelusuri ruang dan waktu. Aku selalu berbagi cerita hidupku dengannya. Semua terasa indah dan bahagia bagiku. Tapi kini hanya cerita lalu yang berusaha ku ulang tanpa kehadirannya. Dia kini hanya meninggalkan kenangan indah yang tak pernah bisa aku temukan lagi dalam diri orang lain.
Aku berusaha melupakan kenangan itu sejenak, walau kenangan itu tetap mehantui sampai ke alam mimpiku. Terlebih lagi datangnya bulan ramadhan,  semua kenangan itu kembali datang  menghantuiku. Mengapa tidak, biasanya ketika aku bangun dari tidurku dia selalu menemaniku menyiapkan semua makanan untuk sahur. Tapi sekarang hanya aku, tanpa ada dia disampingku.
Andai saja dia tahu, setelah kepergiannya banyak yang telah berubah. Rumah begitu sepi bahkan terasa seperti neraka bagiku. Tak ada lagi kebahagiaan, yang ada hanya luka dan masalah yang menghampiri. Tak ada lagi tempat aku mengadu keluh kesah, tak ada lagi pundak yang bersedia menerima sandaranku, tak ada lagi tangan yang menghapus air mata perih di pipiku. Ya, tak ada lagi yang sepertinya.
Terkadang aku berfikir, aku ikut dengannya saja agar aku tak memikul beban yang begitu berat dalam hidupku. Andai saja aku dapat berbicara dengan Tuhan, aku ingin bukan dia yang pergi, tapi orang yang telah menambah luka dan kesengsaraan hidupku. Tapi rasanya tak mungkin karena Tuhan sudah tahu  segalanya di banding aku.
Setelah kepergiannya tak ada lagi keramaian, yang ada hanya ramai namun sepi, yang ada hanya bahagia namun sedih, yang ada hanya kasih sayang namun penuh dengan kebencian. Yang ada hanya kesengsaraan yang selalu mengikuti perjalanan hidupku.
Tahun ketiga tanpa kehadiranmu rasanya begitu sedih. Terlebih ketika mendengar gema takbir, semakin mengingatkanku padanya. Biasanya aku bertakbir bersamanya menandakan betapa senangnya menyambut hari yang fitri. Tapi mengapa lagi-lagi tanpa hadirnya hanya ada luka yang tersembunyi di hari yang fitri. Semua kebahagian seakan menjauh dari hidup ini.
Aku mungkin hanya bisa merinduinya seperti pungguk merindukan bulan. Walau hanya lewat potret dirinya, tapi sudah cukup mengobati rasa rindu yang mencekam jiwa. Kepergian mumembuatku lemah tak tahu harus melakukan apa, terlebih ketika kuingat  perlakuanku yang membuatmu menangiswalau air matamu tak pernah membasahi pipi.
Aku masih ingat, bagaimana begitu kerasnya aku terhadapmu, bahkan aku terlalu sombong ketika berdialog denganmu. Tapi tak pernah sedikit keluar ungkapan mengeluh dari bibir mungilmu, hanya senyum yang senantiasa kau tebarkan. Aku sering  mengeluh pada keadaanku bersamamu hingga berniat pergi meninggalkan kehidupan yang sudah membuatku ada dalam realitas dunia.
Saat dia berada dekat denganku, tak tahu mengapa rasa kekecewaan selalu menghampiri, padahal dia tak pernah berniat mengecewakanku. Tapi lagi lagi aku tetap tak mengerti pengorbananmu, aku terlalu naif, egois, dan keras kepala sehingga apapun yang dialakukan selalu saja salah dimataku.
Mengingat memori itu, tak urung membuat rasa penyesalan kubertambah. Andai jejak waktu dapat ku ulang, akan kurangkai kembali kasih saying tulus untuknya, sebagaimana tulusnya dia padaku. Tapi apa mau dikata, semua hanya tinggal penyesalan yang menghujam jiwa. Aku sempat menulis bait puisi ungkapan penyesalan ku untuknya, agar semua dunia tahu aku tak tertawa riang setelah kepergianmu, walau mungkin orang tetap tidak mengerti.

Kini aku hanya mampu berdialog lewat do’a dengannya, hanya mampu menatap batu nisan yang bertuliskan namanya. Ibu, andai saja kau masih bersamaku, aku mungkin bisa menghadapi masalah yang aku lalui. Ibu, rasanya aku lelah dan ingin sekali bersandar di bahumu dan merasakan belaian lembut penuh kasih saat aku ingin tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar