KENANGAN BERSAMANYA
Malam cepat berganti, tak terasa ramadhan kembali datang
menyapa insan dunia. Semua bersuka cita dan riang gembira, tak terkecuali aku.
Ku pandangi atap-atap langit yang ditemani cahaya kecil pancaran sang bulan.
Insan kesana kemari menuju rumah Tuhan untuk menjalankan
tugas mulia, berharap mendapat imbalan dari sang Tuhan. Akupun juga menuju
rumah Tuhan walau mungkin hanya ikut-ikutan saja. Ditengah perjalanan, ku lirik
kiri kananku sambil mulutku mengucap Subhanallah, bahagia sekali rasanya
melihat insan dunia berbondong-bondong menuju rumah Tuhan, mulai dari anak
kecil sampai orang dewasa hingga rumah Tuhan pun tak cukup untuk menampung
banyaknya insan.
Adzan mulai menggema, menandakan akan dimulainya ibadah
menuju Tuhan. Semuanya berbaris dengan tertib sampai selesai. Akupun menuju
jalan pulang bersama ayah tercinta.
Sejenak aku merenung,
mengingat semua masa yang ku lalui, ketika dulu aku masih bersamanya. Dia
selalu disampingku, menjagaku, melindungiku dan menemaniku dalam suka maupun
duka. Bersamanya aku merasa tenang dan damai, karena dengan hanya melihat
senyumnya membuat aku berarti.
Hari-hari selalu aku
lalui dengannya menelusuri ruang dan waktu. Aku selalu berbagi cerita hidupku
dengannya. Semua terasa indah dan bahagia bagiku. Tapi kini hanya cerita lalu
yang berusaha ku ulang tanpa kehadirannya. Dia kini hanya meninggalkan kenangan
indah yang tak pernah bisa aku temukan lagi dalam diri orang lain.
Aku berusaha melupakan
kenangan itu sejenak, walau kenangan itu tetap mehantui sampai ke alam mimpiku.
Terlebih lagi datangnya bulan ramadhan,
semua kenangan itu kembali datang
menghantuiku. Mengapa tidak, biasanya ketika aku bangun dari tidurku dia
selalu menemaniku menyiapkan semua makanan untuk sahur. Tapi sekarang hanya
aku, tanpa ada dia disampingku.
Andai saja dia tahu,
setelah kepergiannya banyak yang telah berubah. Rumah begitu sepi bahkan terasa
seperti neraka bagiku. Tak ada lagi kebahagiaan, yang ada hanya luka dan
masalah yang menghampiri. Tak ada lagi tempat aku mengadu keluh kesah, tak ada
lagi pundak yang bersedia menerima sandaranku, tak ada lagi tangan yang
menghapus air mata perih di pipiku. Ya, tak ada lagi yang sepertinya.
Terkadang aku berfikir,
aku ikut dengannya saja agar aku tak memikul beban yang begitu berat dalam
hidupku. Andai saja aku dapat berbicara dengan Tuhan, aku ingin bukan dia yang
pergi, tapi orang yang telah menambah luka dan kesengsaraan hidupku. Tapi
rasanya tak mungkin karena Tuhan sudah tahu
segalanya di banding aku.
Setelah kepergiannya
tak ada lagi keramaian, yang ada hanya ramai namun sepi, yang ada hanya bahagia
namun sedih, yang ada hanya kasih sayang namun penuh dengan kebencian. Yang ada
hanya kesengsaraan yang selalu mengikuti perjalanan hidupku.
Tahun ketiga tanpa
kehadiranmu rasanya begitu sedih. Terlebih ketika mendengar gema takbir,
semakin mengingatkanku padanya. Biasanya aku bertakbir bersamanya menandakan
betapa senangnya menyambut hari yang fitri. Tapi mengapa lagi-lagi tanpa
hadirnya hanya ada luka yang tersembunyi di hari yang fitri. Semua kebahagian
seakan menjauh dari hidup ini.
Aku mungkin hanya bisa merinduinya seperti pungguk merindukan bulan. Walau hanya lewat potret dirinya, tapi sudah cukup mengobati rasa rindu yang mencekam
jiwa.
Kepergian
mumembuatku
lemah
tak
tahu
harus
melakukan
apa, terlebih
ketika
kuingat perlakuanku yang membuatmu menangiswalau air matamu
tak
pernah
membasahi
pipi.
Aku masih ingat, bagaimana
begitu
kerasnya
aku
terhadapmu, bahkan
aku
terlalu
sombong
ketika
berdialog
denganmu.
Tapi
tak
pernah
sedikit
keluar
ungkapan
mengeluh
dari
bibir
mungilmu, hanya
senyum yang senantiasa
kau
tebarkan. Aku
sering mengeluh pada keadaanku bersamamu hingga berniat pergi meninggalkan kehidupan yang sudah
membuatku
ada
dalam
realitas
dunia.
Saat dia berada dekat denganku, tak tahu mengapa rasa kekecewaan
selalu
menghampiri, padahal
dia
tak
pernah
berniat
mengecewakanku.
Tapi
lagi
lagi
aku
tetap
tak
mengerti
pengorbananmu, aku
terlalu
naif, egois, dan
keras
kepala
sehingga
apapun yang dialakukan
selalu
saja
salah
dimataku.
Mengingat memori itu, tak urung membuat rasa penyesalan
kubertambah.
Andai
jejak
waktu
dapat
ku
ulang, akan
kurangkai
kembali
kasih
saying
tulus
untuknya, sebagaimana
tulusnya
dia
padaku. Tapi
apa
mau
dikata, semua
hanya
tinggal
penyesalan yang menghujam
jiwa. Aku
sempat
menulis bait puisi
ungkapan
penyesalan
ku
untuknya, agar semua
dunia
tahu
aku
tak
tertawa
riang
setelah
kepergianmu, walau
mungkin orang tetap
tidak
mengerti.
Kini aku hanya mampu
berdialog lewat do’a dengannya, hanya mampu menatap batu nisan yang bertuliskan
namanya. Ibu, andai saja kau masih bersamaku, aku mungkin bisa menghadapi
masalah yang aku lalui. Ibu, rasanya aku lelah dan ingin sekali bersandar di
bahumu dan merasakan belaian lembut penuh kasih saat aku
ingin tidur.